Skip to main content

"Dekonstruksi Kurikulum: Perjalanan Penuh Perjuangan Guru dalam Mewujudkan Pendidikan Berkualitas"

 



        Seorang guru duduk di sudut ruang guru yang tenang, tetapi pikirannya dipenuhi dengan keluh kesah terkait Kurikulum Merdeka. Wajahnya mencerminkan kelelahan dan kebingungan yang mendalam. Berikut adalah cerita keluh kesahnya:

Hari itu, di kelas yang penuh dengan murid-muridnya yang penuh semangat, Guru Susanti merenung sambil memandang buku-buku teks yang baru saja diberikan sebagai bagian dari Kurikulum Merdeka. Seiring dengan semangatnya untuk memberikan pendidikan terbaik, dia merasa seakan-akan terperangkap dalam labirin yang rumit. "Mengajar di bawah Kurikulum Merdeka ini seperti berjalan di atas tali tipis," gumamnya dalam hati. "Segala sesuatu begitu cepat berubah, dan saya harus selalu mencoba menyesuaikan diri dengan setiap perubahan ini."

Guru Susanti mengeluhkan kurangnya waktu untuk mempersiapkan pelajaran yang berkualitas karena terus menerus dihadapkan pada perubahan-perubahan yang mendadak. "Saya ingin memberikan pelajaran yang mendalam dan bermakna, tetapi bagaimana bisa saya melakukannya jika terus-menerus harus menyesuaikan rencana pembelajaran?"

Selain itu, dia merasa tertekan dengan evaluasi yang terus-menerus. "Murid-murid saya harus menghadapi ujian berulang-ulang, dan mereka terlihat lelah. Bagaimana bisa kita mengembangkan minat dan bakat mereka jika kita terus-menerus mengukur keberhasilan mereka dengan tes standar?"

Guru Susanti juga merasa kebingungan dengan berbagai macam modul dan materi yang harus dia sampaikan. "Tidak semua materi cocok dengan kebutuhan dan minat murid-murid saya. Saya ingin memberikan pendidikan yang relevan dan menarik, tetapi sepertinya saya terjebak dalam keharusan untuk mengejar target dan mencapai indikator yang mungkin tidak selalu sesuai dengan kebutuhan nyata mereka."

Dalam kelelahan itu, Guru Susanti menyadari bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya, diperlukan dukungan yang lebih besar. "Saya hanya ingin merancang pengalaman pembelajaran yang bermakna bagi murid-murid saya, tetapi terkadang rasanya seperti saya melawan arus."

Mungkin, di tengah keluh kesahnya, Guru Susanti berharap agar ada solusi yang dapat memberikan keseimbangan antara fleksibilitas dan kualitas dalam mengajar, sehingga pendidikan benar-benar dapat memberikan kesempatan bagi setiap murid untuk tumbuh dan berkembang secara holistik.

Guru Susanti menyesap tehnya yang telah dingin, membiarkan pikirannya sejenak berkelana jauh dari tumpukan berkas dan perencanaan pelajaran yang belum juga tuntas. Dia teringat akan janji pendidikan yang inklusif dan holistik yang diusung oleh Kurikulum Merdeka, sebuah visi yang sejatinya sangat dia dukung. Namun, realitas di lapangan sering kali bertolak belakang.

Dengan desah, dia berpikir tentang tantangan dalam mengimplementasikan metode pembelajaran yang lebih kreatif dan kolaboratif. "Saya ingin mengintegrasikan kegiatan yang lebih interaktif, seperti proyek kelompok atau studi kasus, tapi keterbatasan waktu, sumber daya, dan dukungan membuatnya sulit untuk diwujudkan," keluhnya. "Kami, para guru, juga membutuhkan waktu dan ruang untuk belajar dan beradaptasi dengan pendekatan baru ini."

Pemikirannya beralih pada murid-muridnya, terutama mereka yang memiliki kebutuhan khusus. "Kurikulum Merdeka seharusnya membantu setiap anak untuk berkembang sesuai dengan keunikan mereka. Namun, saya merasa belum sepenuhnya mampu untuk memberikan dukungan individual yang mereka butuhkan. Kami memerlukan pelatihan lebih lanjut dan sumber daya yang lebih memadai."

Guru Susanti juga mengakui tantangan dalam komunikasi dengan orang tua murid. "Perubahan kurikulum ini tidak hanya membingungkan bagi kami, tetapi juga bagi para orang tua. Mereka ingin yang terbaik untuk anak-anak mereka, dan saya merasa perlu adanya jembatan komunikasi yang lebih baik agar mereka dapat memahami dan mendukung proses belajar mengajar yang baru ini."

Di tengah renungannya, dia menyadari bahwa meskipun tantangan ini berat, dia masih memiliki harapan. "Mungkin inilah saatnya kami, para guru, lebih aktif menyuarakan kebutuhan dan pandangan kami. Kami perlu menjadi bagian dari dialog yang lebih besar tentang pendidikan, bersama dengan pemerintah, para ahli, dan masyarakat."

Guru Susanti pun begumam untuk tidak menyerah. Dia percaya bahwa pendidikan adalah tentang menemukan keseimbangan antara mengikuti perubahan zaman dan tetap menjaga esensi dari mengajar itu sendiri - yaitu menyalakan api keingintahuan dan cinta belajar di hati setiap anak.

Dengan tekad yang baru, dia membuka kembali buku catatannya, menulis ide-ide untuk pembelajaran minggu depan, dengan semangat bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk membuat perbedaan, meskipun dalam tantangan dan keterbatasan.

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Magis NoveL Sang Penyair Karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluti

Novel Sang Penyair karya Mustafa Lutfi el-Manfaluti,  Sebuah novel yang amat biasa ketika pertama kali aku menemukan di pojok rak Perpustakaan SMA dulu,  sampul sederhana hanya gambar orang eropa dengan judul sekadarnya saja" simple sekali, fikirku saat itu , dan belum tentu novel  ini bakal menyajikan balada yang membius pembacanya. Novel dengan tebal315 halaman  aku bawa pulang kerumah dan membacanya  per halaman  saking tebalnya novel itu7 hampir tuntas tiga minggu lebih, dan ada sesuatu yang menarik kutemukan. kau bisa membaca dan menyelami sambil menikmati secangkir kopi.    Kau tahu, inilah salah satu kelemahan jiwaku. Kelemahan yang aku nikmati dan aku kagumi satu-satunya. Dengan hidup seperti ini, aku memperoleh kenikmatan yang luar biasa dan engkau tak akan mampu mengetahui kenikmatan jiwa yang aku peroleh. Kenikmatan yang aku lihat dengan perasaan bahagia, walupun orang mengumpat dan mengutuki aku. Semua hinaan, sumpah serapah yang ...

Tawa Terakhir Joko Pinurbo Oleh: Hengky Dj

Sabtu sore waktu surabaya, maghrib mengambang diatas gedung sekolah dasar Klampis Ngasem 1, berisiknya suara kendaraan, lalu lalang membuat jalanan harus lebih dipenuhi dengan kesabaran. Melepas lelah dengan secangkir teh panas dan lantunan   musik Bosonova adalah cara laki-laki seperti kami mengusir segala keletihan yang membombardir tubuh. Pesan singkat dari Andri Kurniawan seorang guru sejarah yang gila akan sastra, membawa pesan duka bahwa Joko Pinurbo telah pulang dan selesai dengan puisinya. Iya… Untuk selamanya!. Kabar sedih teruntuk sastra Indonesia. Joko Pinurbo, si penyair dengan kreativitas melampaui batas, telah menghembuskan napas terakhirnya setelah melawan penyakit yang tak kalah kerasnya dari kepalanya yang selalu dipenuhi kata-kata indah. Ketika berita wafatnya Joko Pinurbo mencuat, dunia sastra Indonesia seakan kehilangan bintangnya yang selalu mampu membuat kata-kata berdansa seperti orang kesetanan di atas kertas kosong. Para penggemar sastra yang biasanya ten...

Diskon Keadilan: 6,5 Tahun

Panggung keadilan negeri ini kembali menyuguhkan drama yang lebih mengguncang daripada sinetron prime time. Kali ini, Harvey Moeis, seorang pengusaha sekaligus suami dari artis ternama Sandra Dewi, sukses mendapatkan "promo akhir tahun" berupa hukuman hanya 6,5 tahun penjara atas dugaan korupsi dana sebesar 300 triliun rupiah . Sebuah angka yang cukup untuk menutupi defisit APBN, tapi malah menjadi tiket emas untuk "liburan berfasilitas eksklusif." Bayangkan, dana sebesar itu bisa membangun puluhan rumah sakit, ribuan sekolah, atau bahkan menggaji ribuan guru honorer hingga tuntas. Tapi sayangnya, rakyat kecil hanya bisa gigit jari, sementara sang pelaku menikmati hasil jerih payah "dana abadi" rakyat. Adakah yang lebih ironis dari ini? 1.        Keadilan ala Negeri Dongeng Seperti di negeri dongeng, keadilan di negara ini terasa seperti cerita fiksi. Untuk mereka yang punya nama besar dan hubungan erat, hukum menjadi elastis—mudah dilenturkan. Band...