Novel Sang Penyair karya Mustafa Lutfi el-Manfaluti, Sebuah novel yang amat biasa ketika pertama kali aku menemukan di pojok rak Perpustakaan SMA dulu, sampul sederhana hanya gambar orang eropa dengan judul sekadarnya saja" simple sekali, fikirku saat itu , dan belum tentu novel ini bakal menyajikan balada yang membius pembacanya.
Novel dengan tebal315 halaman aku bawa pulang kerumah dan membacanya per halaman saking tebalnya novel itu7 hampir tuntas tiga minggu lebih, dan ada sesuatu yang menarik kutemukan. kau bisa membaca dan menyelami sambil menikmati secangkir kopi.
Kau
tahu, inilah salah satu kelemahan jiwaku. Kelemahan yang aku nikmati dan aku
kagumi satu-satunya. Dengan hidup seperti ini, aku memperoleh kenikmatan yang
luar biasa dan engkau tak akan mampu mengetahui kenikmatan jiwa yang aku
peroleh. Kenikmatan yang aku lihat dengan perasaan bahagia, walupun orang
mengumpat dan mengutuki aku. Semua hinaan, sumpah serapah yang ditunjukan
kepadaku seperti hujan debu yang jatuh dari atas, menempel pada sorbanku dan
jatuh ke tanah, lalu ku injak dengan kedua kakiku.
Wahai
'pembesar-pembesar' disekitarku yang hatinya dipenuhi kebaikan-kebaikan dan
kesucian. Kalian harusnya berusaha menjadi manusia yang 'cerdas' seperti yang
kalian impikan. Mestinya kalian harus bisa menunjukan jati diri kalian, jangan
hanya ikut-ikutan. Kalian harus menjernihkan pikiran-pikiran kalian, jangan
sampai terbuai oleh cerita-cerita yang tak jelas arahnya. Kalian harus tampil
dan mampu menerangi kegelapan hidup dengan sinar hati yang jernih. Kalian harus
mampu menciptakan keceriaan dan kebahagiaan jiwa-jiwa manusia.
Mampu
mengalirkam jiwa seni pada setiap penyair dan memenuhi hati mereka dengan
keanggunan, keelokan dan pendirian teguh, bisa membuat jiwa-jiwa mereka terbang
menuju cakrawala yang tinggi, lalu mampu menjelmakan diri mereka dalam bentuk
matahari, bulan dan bintang. Untuk mewujudkan sifat-sifat ini, bukan berarti
kalian harus aktif di mahkamah penyair untuk menghakimi para penyair yang
kalian anggap bersalah tetapi cukup dengan memahami sifat penyair dan kalian
tetap menjadi diri kalian sendiri.
Cukup...
ku
cukupkan sampai disini perasaan inginku, anganku, perwujudan dari rasa
kecewaku. Aku adalah lelaki malang yang tidak memiliki sesuatupun yang patut
untuk di'bangga'kan seperti kalian. Karena itu diam adalah perhiasan sekaligus
perisaiku.
Ya, aku
bukanlah orang yang bahagia kecuali dalam pandangan dan perkiraan orang lain.
Meskipun jiwaku terbuka untuk kalian, tetapi jiwa kalian tertutup untukku. Aku
harus menyembunyikan penderitaan-penderitaanku di hadapan kalian, sehingga
ratapan dan rintihan kalian lebih banyak terdengar dari ratapanku untuk kalian.
Orang lain melihatku sebagai orang yang memiliki rahmat dan kasih sayang lebih tinggi daripada kalian, padahal aku tidak memerlukan itu semua. Aku menganggap keselamatan, keberhasilan dan ketenangan jiwa ada dalam sikap pasrah dan tawakkal. Hingga aku bisa merasa tenang dengan penderitaan dan kepedihan yang aku alami. Aku tidak iri dan dengki kepada kalian, kecuali menyangka kalian adalah orang yang berbahagia. Aku selalu memohon kepada Allah agar menyelamatkan kalian dari kegalauan dan penderitaan yang aku alami
ku titipkan kalian kepada Allah...
Panggung teater dibubarkan oleh Sereno de Borjok, seorang
penyair yang dicintai rakyat, ahli pedang dan punya banyak sekali kawan. Ia
membubarkan pentas buruk yang ditonton banyak borjuis, menantang orang-orang
berkelahi sambil membaca puisi. Adegan ini selalu terekam bagus dalam kepala
saya. Betapa kerennya Sereno menarikan pedangnya, sambil membaca sajak yang ia
hapal di luar kepalanya. Ia melantunkan sajak-sajak kematian, pujian pada
pedang dan membuat hampir mati lawannya, bahkan sebelum pedang ia tusuk dan
tebaskan.
Comments
Post a Comment