Desember di penghujung tahun, Surabaya nampaknya sedikit mendung berbeda dengan sebelumnya, hari ini entah hari keberapa ia terbangun, tapi ia masih merasakan sakit, pandanganya sesekali teralih pada sudut kamar melihat rak buku kusam penuh debu dan bau seperti lama tak pernah terawat, di dalamnya ada deretan album foto dan buku yang masih tersimpan rapi. Seperti ia benar- benar mati rasa. Mungkin kalau tidak salah Ini menjadi ketigakalinya ia mati. Tapi apakah itu benar " ? Pikirku saat melihatnya", Aku mendengar ditengah kondisinya kini seorang berdoa untuknya agar tetap hidup. Meskipun ceritanya seperti cerita peperangan yang konyol. Masih terbayang di benak saya itu seperti membawa pada kematianku yang kelima.
Novel Sang Penyair karya Mustafa Lutfi el-Manfaluti, Sebuah novel yang amat biasa ketika pertama kali aku menemukan di pojok rak Perpustakaan SMA dulu, sampul sederhana hanya gambar orang eropa dengan judul sekadarnya saja" simple sekali, fikirku saat itu , dan belum tentu novel ini bakal menyajikan balada yang membius pembacanya. Novel dengan tebal315 halaman aku bawa pulang kerumah dan membacanya per halaman saking tebalnya novel itu7 hampir tuntas tiga minggu lebih, dan ada sesuatu yang menarik kutemukan. kau bisa membaca dan menyelami sambil menikmati secangkir kopi. Kau tahu, inilah salah satu kelemahan jiwaku. Kelemahan yang aku nikmati dan aku kagumi satu-satunya. Dengan hidup seperti ini, aku memperoleh kenikmatan yang luar biasa dan engkau tak akan mampu mengetahui kenikmatan jiwa yang aku peroleh. Kenikmatan yang aku lihat dengan perasaan bahagia, walupun orang mengumpat dan mengutuki aku. Semua hinaan, sumpah serapah yang ...
diksinya enak, sampean gawe novel/cerpen apik mas
ReplyDelete