Saya masih penasaran sampai sekarang juga, beberapa kali saya tak habis pikir, kenapa Jum tega mengkhianati dan menikah begitu cepat, aku udah berjanji dua tahun setelah saya lulus kuliah nanti saya akan menjadi seorang pengusaha atau tidak ya sekedar kerja dikantor atau bank lah, yang penting cukup untuk membuat gubuk dan membeli tempe atau tahu.
jum pernah berkata bahwa cinta tak memandang materi,
saya tegaskan jum adalah barisan yang sudah ku akhiri dengan tanda baca titik.
padahal aku pernah berpesan dengan kalimat sederhana pada jum,
"Jum tak baik hatimu tinggi menuruti angin, kita hidup ibarat layang-layang , kita diatas selama angin masih ada, tali masih mengikat dan rangka masih kuat, apabila tali telah putus,rangka tak lagi utuh, sudah tak pantaslah lagi kita untuk tetap terbang itu tandanya sudah waktunya kita kembali jum" kataku Sambil menyeduh kopi pait di tepian jalan A. Yani Surabaya.
yang berisik dengan kendaraan.
yang berisik dengan kendaraan.
toh aku ngomong gimanapun tetap sama saja jum tak sedikitpun mendengarkan,,
ia lebih memilih terbang bersama angin,, sejauh dan setinggi mungkin bahkan lebih tinggi hingga aku tak lagi dapat menjangkaunya
pada sore hari Sardi bersama pak slamet sedang duduk dibawah pohon mangga, mereka melepas lelah dengan beberpa karung berisi rumput disampingnya "sepertinya mereka habis mencari makan untuk ternaknya.
joo, kowe ape nok ndi,,," kata sardi,
muleh paklek, mri tekan omahe juminem.
"eh piye sido to karo juminem joo,
ugak paklek juminem wes digowo barat aku wes ra iso nyawang sak iki
dengan merekasaya benar-benar bisa merasakan kultur bahwa tinggal ditepian desa ini emang sangat merindukan, atau mungkin ini moment yang bakal lama nantinya tak lagi aku bisa merasakanya,
sebatang kara aku fikirir juminem mampu menjadi bagian dari singkatnya cerita hidupku,
Comments
Post a Comment