Skip to main content

Bu Nur dan Ketangguhan di Balik Perubahan ( Kisah Guru Senior Menghadapi Kurikulum Merdeka)


Kurikulum Merdeka udah jadi topik panas di kalangan guru dan sekolah nih, kayak mie instan abis ditirisin. Sejak pertama kali diluncurkan, harapannya kurikulum ini bisa jadi solusi atas kebosanan pendidikan yang serba kaku. Tapi, yaaa… namanya juga kurikulum baru, adaptasi pasti butuh waktu, apalagi kalau gurunya masih galau antara nyiapin Modul ajar atau mikirin utang cicilan (eh, curhat ya?).

Tantangan dan Peluang Kurikulum Merdeka

Sebagai guru di SDN Klampis Ngasem 1/246, Kurikulum Merdeka ini kadang bikin perasaan kayak naik roller coaster—deg-degan tapi seru. Kurikulumnya minta guru buat lebih kreatif dan fleksibel, mirip kayak gimana kita mutusin menu makan siang pas dompet lagi tipis. Tapi ya jujur, nggak gampang, Sob!

Masalah terbesar sih, kesiapan guru. Mau nggak mau, saya dan rekan-rekan guru harus banyak belajar, kayak mahasiswa yang ngejar skripsi di deadline terakhir. Untungnya, di balik tantangan ini ada peluang buat ngajarin anak-anak dengan cara yang lebih fun. Mereka nggak cuma belajar dari buku, tapi juga dari pengalaman sehari-hari, kayak waktu kita ngajarin matematika pake contoh harga di warung—seketika anak-anak jadi jago hitung kembalian!

Pengalaman Pribadi Menerapkan Kurikulum Merdeka

Kalo ditanya pengalaman saya, ibaratnya kayak nyetir kendaraan baru, awalnya kagok, tapi lama-lama jadi asyik juga. Di SDN Klampis Ngasem 1/246, kita punya beragam peserta didik, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Nah, Kurikulum Merdeka ini memungkinkan saya buat menyesuaikan metode pembelajaran sesuai kebutuhan anak-anak, kayak kita ngatur playlist biar pas sama suasana hati.

Kadang-kadang, saya suka ngajak mereka belajar pake alat-alat sederhana, kaya bikin simulasi sains pake barang-barang di rumah. Suatu hari, pernah ada peserta didik yang nanya, “Bu, kenapa lampu nyala?” Langsung deh saya jawab, “Itu karena ada listrik, bukan karena lampunya jatuh cinta sama saklar!” Anak-anak ketawa, saya juga ketawa. Di situ kadang saya merasa kebahagiaan nggak butuh ribet, cuma butuh sedikit humor receh.

Nah, di tengah tantangan itu, ada juga cerita-cerita unik dari rekan-rekan guru senior. Misalnya, ada Bu Nur—guru yang udah sepuh tapi semangatnya luar biasa. Kalau ngomongin Bu Nur ini, diibaratkan sebagai "api dalam sekam"—tenang di permukaan, namun menyimpan energi dan semangat yang luar biasa di dalam. Meskipun usianya sudah matang, langkah dan pemikirannya tetap lincah. Beliau ibarat "mata air di tengah padang gersang", membawa kesejukan dan inspirasi di tengah perubahan Kurikulum Merdeka yang menantang. Tak peduli berapa lama waktu telah berlalu, Bu Nur tetap "seperti elang terbang tinggi", penuh kewaspadaan dan ketangkasan dalam menyesuaikan diri, menjadikan pengalaman panjangnya sebagai pijakan untuk terus melesat ke depan, seakan tanpa lelah. .

 Sebelum Kurikulum Merdeka, Bu Nur mengajar dengan pola yang sudah teratur, rapi, dan sesuai SOP (Standar Orang Sepuh). Tapi sekarang, begitu ada Kurikulum Merdeka, tiba-tiba beliau dituntut untuk bergerak cepat kayak anak muda zaman sekarang yang multitasking sambil ngetik sambil makan bakso.

Pernah suatu kali Bu Nur bilang, "Waduh, ini saya mesti belajar aplikasi apa lagi nih? Nanti salah pencet, malah error laptop saya!” Tapi jangan salah, Bu Nur ini cepet banget belajarnya, kayak abis minum es the nya Mbak Mus terus langsung seger lagi. Cuma bedanya, tiap kali berhasil kuasain teknologi baru, beliau bakal ketawa kecil sambil ngomong, “Ah, ternyata nggak susah-susah amat ya. Kirain kayak belajar ngoding!” Kami semua di ruang guru ketawa, karena tahu Bu Nur selalu punya cara bikin semuanya jadi lebih ringan.

Intinya sih, Kurikulum Merdeka ini punya masa depan yang gimana ya apa sebagus filandia atau secara konsep emang bagus tapi tidak dengan karakter bangsa kita,  coba tulis pendapatmu!. Tapi ya, jangan ngarep mulus kayak jalan tol—bakal ada aja lubang di sana-sini. Tantangannya ada, tapi kalau kita bisa hadapi dengan santai dan sedikit canda tawa, pasti bisa diatasi. Apalagi di sekolah kayak SDN Klampis Ngasem 1/246 yang dukungan dari guru-gurunya solid banget, kayak band rock yang kompak di panggung.

Sebagai guru, saya udah ngalamin gimana Kurikulum Merdeka ini bikin kita lebih bebas bereksperimen dalam mengajar. Dan jujur, kalau semua bisa dijalanin dengan enjoy, anak-anak belajar, kita pun bahagia. So, nasib Kurikulum Merdeka? Mungkin jawabannya bisa kita temuin di balik tawa anak-anak di kelas setiap harinya!.

Nasib Kurikulum Merdeka bisa dibilang kayak main roller coaster—naik-turun, tapi seru banget kalau dinikmati. Tantangan memang ada, tapi dengan semangat kayak Bu Nur, yang walaupun udah sepuh tapi tetap gesit, kita semua bisa ngikutin arus perubahan ini. Di SDN Klampis Ngasem 1/246, kami belajar bareng, ketawa bareng, dan pastinya, mencoba ngelewatin setiap tantangan dengan santai tapi tetap fokus. Yang penting, jangan lupa bawa humor ke kelas biar semuanya lebih ringan, karena kadang tawa peserta didik itu adalah energi paling ampuh buat ngadepin hari-hari mengajar!

          

( Bu Nur bersama peserta didik )  

Comments

Popular posts from this blog

Magis NoveL Sang Penyair Karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluti

Novel Sang Penyair karya Mustafa Lutfi el-Manfaluti,  Sebuah novel yang amat biasa ketika pertama kali aku menemukan di pojok rak Perpustakaan SMA dulu,  sampul sederhana hanya gambar orang eropa dengan judul sekadarnya saja" simple sekali, fikirku saat itu , dan belum tentu novel  ini bakal menyajikan balada yang membius pembacanya. Novel dengan tebal315 halaman  aku bawa pulang kerumah dan membacanya  per halaman  saking tebalnya novel itu7 hampir tuntas tiga minggu lebih, dan ada sesuatu yang menarik kutemukan. kau bisa membaca dan menyelami sambil menikmati secangkir kopi.    Kau tahu, inilah salah satu kelemahan jiwaku. Kelemahan yang aku nikmati dan aku kagumi satu-satunya. Dengan hidup seperti ini, aku memperoleh kenikmatan yang luar biasa dan engkau tak akan mampu mengetahui kenikmatan jiwa yang aku peroleh. Kenikmatan yang aku lihat dengan perasaan bahagia, walupun orang mengumpat dan mengutuki aku. Semua hinaan, sumpah serapah yang ...

Diskon Keadilan: 6,5 Tahun

Panggung keadilan negeri ini kembali menyuguhkan drama yang lebih mengguncang daripada sinetron prime time. Kali ini, Harvey Moeis, seorang pengusaha sekaligus suami dari artis ternama Sandra Dewi, sukses mendapatkan "promo akhir tahun" berupa hukuman hanya 6,5 tahun penjara atas dugaan korupsi dana sebesar 300 triliun rupiah . Sebuah angka yang cukup untuk menutupi defisit APBN, tapi malah menjadi tiket emas untuk "liburan berfasilitas eksklusif." Bayangkan, dana sebesar itu bisa membangun puluhan rumah sakit, ribuan sekolah, atau bahkan menggaji ribuan guru honorer hingga tuntas. Tapi sayangnya, rakyat kecil hanya bisa gigit jari, sementara sang pelaku menikmati hasil jerih payah "dana abadi" rakyat. Adakah yang lebih ironis dari ini? 1.        Keadilan ala Negeri Dongeng Seperti di negeri dongeng, keadilan di negara ini terasa seperti cerita fiksi. Untuk mereka yang punya nama besar dan hubungan erat, hukum menjadi elastis—mudah dilenturkan. Band...

Eling–Eling Kereto Rupo Menungso

Surabaya. Selepas mengusir dahaga dengan es teh sayu-sayu terdengar lantunan sayir “ ono tangis kelayung-layung  tangise wong kang wedi mati  “  lantunan singkat tembang jawa tersebut membawaku pada pelamunan amat dalam mengenai kehidupan” ya betapa amat mahalnya syair tersebut, sehingga sengaja membuat saya  menulis di blog ini agar syair tersebut tidak lenyap, kikis dimakan perubahan zaman.  Semoga bisa menjadi perenungan, pelajaran dan membuat kita untuk “  iling”. Berikut beberpa kumpulan syair (tembang) agar kita selalu ingat akan mati dalam versi jawa. Eling-Eling Wong Urip Bakale Mati Alohumma Sholli Wa Salim ‘Ala, Sayidina Wa Maulana Muhammadin …… Eling-Eling Wong Urip Bakale Mati Ojo Bungah Ono Dunyo Mulyo Mukti Ngluru ‘Ilmu Lan Ngibadah Ingkang Yekti Ngluru ‘Amal Wiwit Urip Tumeko Mati Wajib Pasrah Wong Asor Maring Pengeran Sarto Nderek Nabi Kang Dadi Pungkasan Rukune Islam Iku Limang Perkoro Ingkang Ndingin Ngucapaken Syahadat L...