Sabtu
sore waktu surabaya, maghrib mengambang diatas gedung sekolah dasar Klampis Ngasem
1, berisiknya suara kendaraan, lalu lalang membuat jalanan harus lebih dipenuhi
dengan kesabaran. Melepas lelah dengan secangkir teh panas dan lantunan musik Bosonova adalah cara laki-laki seperti
kami mengusir segala keletihan yang membombardir tubuh. Pesan singkat dari Andri
Kurniawan seorang guru sejarah yang gila akan sastra, membawa pesan duka bahwa Joko
Pinurbo telah pulang dan selesai dengan puisinya. Iya… Untuk selamanya!.
Kabar
sedih teruntuk sastra Indonesia. Joko Pinurbo, si penyair dengan kreativitas
melampaui batas, telah menghembuskan napas terakhirnya setelah melawan penyakit
yang tak kalah kerasnya dari kepalanya yang selalu dipenuhi kata-kata indah. Ketika
berita wafatnya Joko Pinurbo mencuat, dunia sastra Indonesia seakan kehilangan
bintangnya yang selalu mampu membuat kata-kata berdansa seperti orang kesetanan
di atas kertas kosong. Para penggemar sastra yang biasanya tenang seperti
perpustakaan tiba-tiba merasa seperti sedang di tengah-tengah konser rock
dengan teriakan "Encore, encore!"
Tentu
saja, banyak yang merasa kehilangan. Beberapa mengucapkan selamat tinggal
dengan puisi-puisi karya Joko, sementara yang lain berharap dia sempat
menyelipkan petuah terakhirnya tentang bagaimana caranya membuat kopi yang
sesuai dengan standar dunia sastra.
Kepergian
Sapardi mashi melekat bagaimana aku mengilhami musikalisasi pusi dalam doaku
dan Joko, yang dikenal dengan puisi-puisi yang lebih lebat dari pada rambutnya
yang putih meninggalkan jejaknya dalam dunia sastra Indonesia seperti bocah
kecil yang kehilangan mainan favoritnya di taman bermain. Karya-karyanya tak
hanya membuat kita berpikir dalam-dalam, tapi juga seringkali membuat kita
bertanya-tanya, "Ini bahasa alien apa sih yang dia pakai?"
Meskipun
pergi, Joko pasti sudah merencanakan sambutan spektakuler di alam sana, dengan
puisi-puisinya menjadi bahan diskusi serius bagi para malaikat. Siapa tahu,
mungkin di surga ada open mic night untuk para penyair yang baru tiba, dan Joko
sudah bersiap-siap dengan puisi barunya tentang bagaimana caranya membuat teh
yang sempurna.
Jadi,
meskipun kita harus merindukan kehadiran fisiknya, karya-karya Joko Pinurbo
akan tetap menjadi bukti betapa warna-warni dan kocaknya dunia sastra Indonesia
yang telah ditinggalkannya.
Dengan
begitu, kita berpamitan pada Joko Pinurbo dengan senyum dan kenangan yang penuh
warna. Meskipun telah pergi, warisan kreatifitasnya tetap hadir, menginspirasi
dan menghibur generasi-generasi berikutnya dalam negeri ini. Seperti
kata-katanya yang mengalir dalam bait-bait puisi, kehadirannya akan terus
bersinar di langit-langit sastra Indonesia, memberi kita pelajaran tentang
kehidupan, cinta, dan juga tentang humor yang tak pernah lekang oleh waktu.
Jadi, mari kita angkat secangkir kopi, atau teh sesuai selera Joko, untuk merayakan perjalanan yang indah dari seorang penyair yang telah memberikan begitu banyak kegembiraan dan inspirasi bagi kita semua. Selamat jalan, Joko Pinurbo. Semoga puisi-puisimu terus mengalir di hati dan pikiran kita, seperti air yang tak pernah berhenti mengalir di sungai kehidupan ini. Selamat jalan, Joko! Semoga langit di surga tidak terlalu ramai dengan puisi-puisimu yang membuat kita terkagum-kagum dan tertawa.
Ketika akhirnya matamu matiKita sudah menjadi kalimat tunggal
Comments
Post a Comment