Skip to main content

Surabaya Menghitam

Langit  Surabaya,  Sudah diambang petang kala senja hampir raib diubun perempuan berambut putih itu. Aku pernah mendengar bahwa surgaku ada dibawa telapak kaki ibu? Sampai dewasa ini pula aku masih berangan-angan membayangkan  surga itu seperti apa? bertambah sudah angka di kepala. bahwa pada akhirnya  tak ada yang tunggal, bahwa kembali itu berati pulang “ kala aku ingat petikan puisi dari Mbah Joko Pinurbo dalam puisi kamus kecilnya yang dibacakan tempo lalu di salah satu acara televisi. Malam menjemput bersama kumandang adzan magrib, lamunanku merintih bersama teriakan gagak- gagak bahwa rasanya  aku masih ingin berloncat seperti bocah, menikmati hari minggu dan bermain tanah liat, mendamba dengan mata yang sayu saat masih dipangku,  menyusu dengan jiwa polos dan suci.
Waktu mengajak berlari di atas aspal Surabaya masih terasa begitu panas oleh  kuda kuda besi yang simpang siur merambat seperti air mengalir. Pandanganku masih tertuju pada perempuan berambut putih itu, sesekali aku liat ia mengusap keringat sambil menggoreng tahu, sudah hamir satu jam tidak ada satu orang pun yang singgah untuk membeli tahu yang digorengnya,membanyangkan bahwa perempuan itu adalah ibuku sendiri sungguh rasanya pun semua orang akan sepakat untuk menyatakan  tak akan tega.  Saking tidak teganya Akhirnya kulangkahkan kaki menuju tempat jualan perempuan tua itu, “ bungkus tahunya nek”  inggih  nak !. senyum sumringah dari raut wajahnya memancar, diusianya yang memasuki senja nenek ini masih menjalani hidup dengan semangat seperti ini, sungguh kerdil bila melihat diri   sendiri. Biasanya sampek jam berapa nek jualannya ?” kadang sampek jam 10 nak. Selalu habis ? ya tidak tentu nak jawabnya singkat. ini tahunya nak. ! Terimaksih nek
setelah membelinya, pikiranku masih kacau tidak sampai membayangkan apa yang dilakoni oleh nenek itu bagaimana ibuku, bagaimana bila tubuhku akan setua itu? Sedangkan waktu merambat begitu cepat, iya iya aku sadar ini bukan bertambahnya usia manusia justru semakin berkurangnya usia. Malam itu secara sadar aku membuat pengakuan di bawah langit yang menghitam  di atas kesadaran, bahwa  semua akan menuju pada satu titik bernama "PULANG".



Comments

Popular posts from this blog

Magis NoveL Sang Penyair Karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluti

Novel Sang Penyair karya Mustafa Lutfi el-Manfaluti,  Sebuah novel yang amat biasa ketika pertama kali aku menemukan di pojok rak Perpustakaan SMA dulu,  sampul sederhana hanya gambar orang eropa dengan judul sekadarnya saja" simple sekali, fikirku saat itu , dan belum tentu novel  ini bakal menyajikan balada yang membius pembacanya. Novel dengan tebal315 halaman  aku bawa pulang kerumah dan membacanya  per halaman  saking tebalnya novel itu7 hampir tuntas tiga minggu lebih, dan ada sesuatu yang menarik kutemukan. kau bisa membaca dan menyelami sambil menikmati secangkir kopi.    Kau tahu, inilah salah satu kelemahan jiwaku. Kelemahan yang aku nikmati dan aku kagumi satu-satunya. Dengan hidup seperti ini, aku memperoleh kenikmatan yang luar biasa dan engkau tak akan mampu mengetahui kenikmatan jiwa yang aku peroleh. Kenikmatan yang aku lihat dengan perasaan bahagia, walupun orang mengumpat dan mengutuki aku. Semua hinaan, sumpah serapah yang ...

Diskon Keadilan: 6,5 Tahun

Panggung keadilan negeri ini kembali menyuguhkan drama yang lebih mengguncang daripada sinetron prime time. Kali ini, Harvey Moeis, seorang pengusaha sekaligus suami dari artis ternama Sandra Dewi, sukses mendapatkan "promo akhir tahun" berupa hukuman hanya 6,5 tahun penjara atas dugaan korupsi dana sebesar 300 triliun rupiah . Sebuah angka yang cukup untuk menutupi defisit APBN, tapi malah menjadi tiket emas untuk "liburan berfasilitas eksklusif." Bayangkan, dana sebesar itu bisa membangun puluhan rumah sakit, ribuan sekolah, atau bahkan menggaji ribuan guru honorer hingga tuntas. Tapi sayangnya, rakyat kecil hanya bisa gigit jari, sementara sang pelaku menikmati hasil jerih payah "dana abadi" rakyat. Adakah yang lebih ironis dari ini? 1.        Keadilan ala Negeri Dongeng Seperti di negeri dongeng, keadilan di negara ini terasa seperti cerita fiksi. Untuk mereka yang punya nama besar dan hubungan erat, hukum menjadi elastis—mudah dilenturkan. Band...

Eling–Eling Kereto Rupo Menungso

Surabaya. Selepas mengusir dahaga dengan es teh sayu-sayu terdengar lantunan sayir “ ono tangis kelayung-layung  tangise wong kang wedi mati  “  lantunan singkat tembang jawa tersebut membawaku pada pelamunan amat dalam mengenai kehidupan” ya betapa amat mahalnya syair tersebut, sehingga sengaja membuat saya  menulis di blog ini agar syair tersebut tidak lenyap, kikis dimakan perubahan zaman.  Semoga bisa menjadi perenungan, pelajaran dan membuat kita untuk “  iling”. Berikut beberpa kumpulan syair (tembang) agar kita selalu ingat akan mati dalam versi jawa. Eling-Eling Wong Urip Bakale Mati Alohumma Sholli Wa Salim ‘Ala, Sayidina Wa Maulana Muhammadin …… Eling-Eling Wong Urip Bakale Mati Ojo Bungah Ono Dunyo Mulyo Mukti Ngluru ‘Ilmu Lan Ngibadah Ingkang Yekti Ngluru ‘Amal Wiwit Urip Tumeko Mati Wajib Pasrah Wong Asor Maring Pengeran Sarto Nderek Nabi Kang Dadi Pungkasan Rukune Islam Iku Limang Perkoro Ingkang Ndingin Ngucapaken Syahadat L...