Langit Surabaya, Sudah diambang petang kala senja hampir raib diubun perempuan berambut putih itu,
Aku pernah mendengar bahwa surgaku tak mungkin akan lari? Sampai dewasa pula aku masih berangan surga itu seperti apa? bertambah sudah angka di kepala. bahwa tak ada tunggal, bahwa kembali berati pulang. kalau rasa masih ingin berloncat seperti bocah, menikmati hari minggu dan bermain dengan tanah liat, mendamba dengan mata yang sayu saat masih di pangku dan menyusu dengan jiwa jiwa kesucian,
sebelum waktu meledak membelah dada dan memisahkan antara ku dan nya, menginjak , mencaci, merusak dan bahakan membunuh di atas kesadaran, bahwa semua arus akan menuju pada satu titik bernama "pilihan". waktu mengajak berlari diatas aspal Surabaya masih terasa begitu panas menyaksikan jalanan yang berisik. kuda kuda besi simpang siur merambat seperti air mengalir.
Novel Sang Penyair karya Mustafa Lutfi el-Manfaluti, Sebuah novel yang amat biasa ketika pertama kali aku menemukan di pojok rak Perpustakaan SMA dulu, sampul sederhana hanya gambar orang eropa dengan judul sekadarnya saja" simple sekali, fikirku saat itu , dan belum tentu novel ini bakal menyajikan balada yang membius pembacanya. Novel dengan tebal315 halaman aku bawa pulang kerumah dan membacanya per halaman saking tebalnya novel itu7 hampir tuntas tiga minggu lebih, dan ada sesuatu yang menarik kutemukan. kau bisa membaca dan menyelami sambil menikmati secangkir kopi. Kau tahu, inilah salah satu kelemahan jiwaku. Kelemahan yang aku nikmati dan aku kagumi satu-satunya. Dengan hidup seperti ini, aku memperoleh kenikmatan yang luar biasa dan engkau tak akan mampu mengetahui kenikmatan jiwa yang aku peroleh. Kenikmatan yang aku lihat dengan perasaan bahagia, walupun orang mengumpat dan mengutuki aku. Semua hinaan, sumpah serapah yang ...
Comments
Post a Comment